Jujur Itu (Ternyata) Menyakitkan

Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Tak bisa dipecahkan dengan rumus matematika maupun fisika. Salah satu contohnya adalah bagaimana bisa bertemu denganmu dan bagaimana aku bisa terjebak pada dua cinta.

Namun, aku harus menyelesaikan ini. Aku harus memilih.

 

Jakarta, Agustus 2014 

**
Lalu, bisakah kau katakan padaku bagaimana yang begitu dekat denganmu menjadi jauh? Dan bagaimana yang tak mungkin menjadi mungkin begitu pula sebaliknya?

Bisakah kau menjawab pertanyaanku?

 

Jakarta, September 2014

**
Telepon itu bergetar. Dengan malas Keyka meraihnya. Ada satu pesan masuk.

Attar.

Key, besok di GI yuk. 

Debaran itu kembali hadir menyeruak dan memenuhi rongga dada Keyka.

Masih inget toh ternyata.

Keyka hanya tersenyum dan segera membalas pesan tadi. Ponsel itu kembali tergeletak di meja. Keyka beranjak dari duduknya dan berpindah pada tempat tidur. Sebelum dia memejamkan mata, dia berdoa dalam hatinya. Sempat terlihat air mata menetes di pelupuk mata Keyka.

**
“Key, sori ya waktu itu gak jadi ketemuan. Mendadak motor mogok dan gak mungkin keburu dari Bekasi.”

“Tapi kan bisa ngasih kabar paling ga.”

“Kamu udah di tempat beneran waktu itu?”

“Attar, masih perlu kita ngebahas waktu itu? Diungkit-ungkit terus aja sampe kiamat.”

“Kan aku khawatir sama kamu.”

“Hahaha, khawatir? Kalo khawatir ya pasti ngasih tahu. Gak mungkin ngebiarin aku duduk di situ sampe malem, sampe kedainya tutup. Kayak orang bego tahu gak?”

“Iya, Key, iya. Maaf. Dan bener kata kamu, gak perlu ngebahas lagi.”

Keyka membuang pandangannya jauh ke balik jendela yang dibasahi oleh rintik bekas hujan tadi siang. Dia menghela napasnya, lumayan panjang. Dia melanggar janjinya untuk tak berbohong. Tapi dia harus berbohong.

Sementara Attar mulai kikuk, dia salah membuka obrolan. Diaduk-aduk lychee mojitonya tanpa tujuan. Sebentar kemudian, dia mengambil ponsel dari kantung celananya.

“Iya, masuk aja. Gue udah di dalam.”

Deg!

Degup jantung Keyka tak keruan.

Mungkinkah dia yang datang, ya Tuhan?

**
Asem! 

Irman tersenyum kecut saat tangannya meraih dan menggenggam tangan Keyka. Senyum Keyka masih tetap seperti dulu. Tak ada yang mengubah manis senyumnya itu. Tapi sepertinya ada yang merenggut bahagia. Itu yang Irman tangkap dari tatap mata Keyka.

“Kok lo ga bilang, Tar, kalo ada Keyka di sini?”

“Emang perlu bilang ya? Gue kan pengin nostalgia kayak di Malang dulu. Udah lama kali kita gak ngumpul bertiga gini. Masa lo gak seneng, Man, ketemu cewek sekece Keyka begini?”

Iya, Keyka itu kece banget, Tar. Tapi lo buta gak bisa liat cinta dia buat lo. Bego!

“Ya siapa tahu Keyka cuma pengin berdua aja ma lo, kan?”

Sekali lagi, Irman tersenyum kecut.

**
Kampret ni anak maunya apaan sih. Lagipula ngapain Attar pake ngundang Irman. Aku pengin pergi dari sini, ya Tuhaaan.

**
Canda mereka tak seperti waktu itu di Malang. Ada yang salah, ada yang berbeda. Tiga hati dengan satu hati telah dipenuhi retakan. Tiga tawa dengan satu tawa disertai tangis dalam jiwa. Sebuah penyiksaan sempurna untuk Keyka.

**
Keyka berdiri dan pergi meninggalkan kursinya menuju kamar kecil. Irman segera mengikutinya. Attar rupanya tak perhatian dengan keanehan di antara mereka berdua.

Keluar dari toilet, Irman mencegat Keyka. Sudah jelas mereka menjadi canggung. Ini pertemuan mereka setelah 7 bulan tak pernah bertemu, setelah 7 bulan tak ada lagi komunikasi di antara mereka.

“Key, aku mau minta maaf.”

“Buat apa? Ngerasa salah karena ninggalin aku? Atau mau bikin alasan yang lebih keren dibanding alasan waktu itu?”

“Bukan gitu, Key. Aku bener-bener salah.”

“Udahlah. kita udah ga ada apa-apa lagi.”
“Terima kasih telah menghancurkan impian-impianku yang terlanjur kutitipkan sama kamu karena aku telah salah menilai kamu.”

Keyka pergi dari pandangan Irman. Meninggalkan Irman yang kini ikut terluka. Ternyata Keyka memang benar. Keyka mencintainya. Irman salah menilai cinta Keyka. Irman salah telah mempermainkan perasaan Keyka.

**
Mata Keyka terasa panas. Air matanya sudah membendung seolah ingin tumpah dan meleleh di pipi Keyka. Keyka hanya menggigit lidahnya berharap ia tak menangis di depan Attar. Tapi usahanya gagal.

Attar terkejut. Dia segera menarik beberapa lembar tisu dari kotak tisu dan menyerahkan pada Keyka. Kemudian dia mendekat pada Keyka dan meletakkan kepala Keyka di pundaknya. Di sudut ruangan, Irman hanya tertegun melihat pemandangan itu. Entah mengapa ada sesuatu yang menikam dadanya dan membuat sebuah lubang besar di sana.

Keyka mengusap bulir-bulir air mata yang membasahi wajahnya. Dan merenggangkan pelukan Attar.

“Baiklah, aku mau jujur. Aku ga suka bohong. Dan untuk konfirmasi, mungkin kamu bisa menanyakan pada temanmu ini.” Keyka menatap tajam Irman yang sudah duduk di hadapannya.

“Aku pernah pacaran sama Irman. Aku pernah memiliki mimpi menikah dengan dia yang pernah mengatakan bakal menemui bapak untuk meminangku. Tapi ternyata aku salah meletakkan mimpiku di pundaknya. Ternyata Irman gak sayang aku, dia lebih sayang kerjaannya.”

**
Bukan, Key. Alasanku aku mau fokus kerja itu terlalu mengada-ada.

**
“Mungkin Irman salah menilai aku yang waktu dulu, waktu dia nemenin aku nunggu kamu dateng di kedai kopi itu, waktu aku jujur sama dia kalo aku sayang dia dan meminta dia untuk mengajariku bagaimana mencintainya lebih. Mungkin dia cuma berpikir kalo dia merupakan pelarian karena cintaku buat kamu gak pernah terbalas.”

“Dia mampu meyakinkanku bahwa dia mencintaiku, dia menyayangiku. Tapi, aku salah.”

Kemudian yang ada hanya hening.

Diiringi tangis dalam hati Keyka.

**
Sebenarnya waktu itu aku cuma bercanda dengan semua kata cinta buat kamu. Aku bohong.

Tapi ternyata, aku memang mencintaimu.

Dan hening tetap berlanjut.

Diikuti teriak Irman di dalam hatinya.

**
Key, kamu bilang cintamu buat aku yang gak pernah terbalas? Maksud kamu? 

“Sebenernya aku …..”

Dan diakhiri sebuah suara yang tercekat di tenggorokan Attar.

*****

5 thoughts on “Jujur Itu (Ternyata) Menyakitkan

Leave a comment